Pendidikan Luar Sekolah Membelajarkan Orang-orang “Kurang Ajar”
Anda mungkin tidak
terlalu mengenal jenis pendidikan luar sekolah. “memangnya ada ya
pendidikan macam begitu?” mungkin kira-kira seperti itu pertanyaan Anda.
Atau yang seperti ini, “pendidikan luar sekolah? wah, ora ngerti saya.
Hehe.” Apapun pertanyaannya, kali ini saya akan membiarkan Anda
berkenalan dengan jenis pendidikan ini. Tapi, kira-kira saya harus
memulainya dari mana?…
Oke, sederhanyanya
begini, Anda tahu lembaga kursus dan pelatihan? Anda pernah mendengar
tentang lembaga pendidikan kesetaraan paket A, B, C?, Anda tahu
pendidikan pemberdayaan perempuan?, Anda sering melihat PAUD?, Anda
mengenal sekolah alam?, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
vokasional, pendidikan keaksaraan?, dan masih banyak ladang lain yang
menjadi garapan pendidikan luar sekolah yang mungkin anda mengetahuinya
tanpa menyadari bahwa mereka adalah bagian dari jenis pendidikan luar
sekolah. Saya tidak akan membawa Anda pada perkenalan yang terlalu jauh
dengan “konsep dasar” pendidikan luar sekolah. Ada banyak karakter dan
prinsip dari pendidikan luar sekolah yang kiranya lebih penting untuk
saya kemukakan di sini. Prinsip yang memiliki tujuan yang sama dengan
pendidikan sekolah (pendidikan formal)—yaitu untuk membelajarkan dan
mencerdaskan peserta didik, namun masing-masing di antara mereka membawa
sifat yang berbeda.
Pendidikan luar sekolah sebagai penghancur sistem
Ada pendidikan yang didirikan untuk menghancurkan sistem. Mungkin kedengarannya aneh, tapi memang begini default setting-nya
(pengaturan dasar/sifat bawaan). Pendidikan luar sekolah saya katakan
sebagai penghancur sistem yang dimiliki oleh pendidikan sekolah
(pendidikan formal). Sistem yang mana? Tentu saja sistem-sistem
pendidikan formal yang cenderung konvensional dan kaku. Anda
pernah melihat film Every Child Is Special garapan Aamir Khan? Film
tersebut memang tidak bertujuan mengisahkan tentang perbedaan pendidikan
formal dan nonformal, tetapi saya mengingat betul beberapa item yang
mencirikan pendidikan sekolah yang kaku. Misalnya saja ada peraturan
yang tidak memperbolehkan anak memasuki ruang kelas hanya karena lupa
menyemir sepatu, atau metode pembelajaran “shocked theraphy” yang
digunakan oleh guru yang berujung pada mengkerdilnya nyali anak, atau
peraturan-peraturan lain yang membuat semua orang berbaris rapi,
bergerak teratur, tapi kaku seperti robot yang sudah diprogram
sedemikian rupa. Coba lihat, setiap ruang kelas di setiap jenjang
pendidikan formal berisikan peserta didik dengan karakteristik homogen
(rata-rata usia, pakaian seragam, dan tingkat kecerdasan berdasarkan classter
sekolah). Sekarang coba lihat anak-anak yang belajar di sekolah alam.
Pendidik membiarkan pikiran anak-anak bersentuhan secara langsung dengan
dunia luar—tanpa merasa terkerangkeng oleh ruangan kelas. Anak akan
lebih mudah mengekspresikan dirinya dan upaya ini sangat baik untuk
menekan tingkat kejenuhan belajar anak. Dalam pendidikan luar sekolah
dikenal konsep belajar sepanjang hayat, yaitu pembelajaran yang tidak
mengenal batasan usia. Beberapa waktu lalu, media mengabarkan tentang
orang lansia yang mengikuti ujian nasional kesetaraan paket C. Ini salah
satu bukti yang mungkin baru ter-blow up saat-saat ini yang
membenarkan bahwa pendidikan luar sekolah memiliki prinsip yang
fleksibel, tanpa batasan ruang dan waktu, namun tetap memiliki daya
keketatan dan kedisiplinan tersendiri. Bukan fleksibel dalam artian
bebas tanpa batas—sebebas suku Barbar.
Pendidikan luar sekolah membelajarkan orang-orang “kurang ajar”
Berapa banyak
anak-anak yang mengalami putus sekolah? Berapa banyak orang-orang dewasa
dan lansia yang berstatuskan buta aksara? Berapa banyak anak jalanan
yang menukar waktu sekolah mereka dengan rutinitas jalanan? Pendidikan
luar sekolah pada prinsipnya adalah sebagai penambah, pelengkap, dan
pengganti pendidikan sekolah. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut,
pendidikan luar sekolah memiliki peran sebagai pembelajar orang-orang
yang “kurang ajar”. Artinya, pendidikan luar sekolah
memiliki tugas dan fungsi sebagai fasilitator untuk membelajarkan
orang-orang yang pada dasarnya tidak sempat menuntaskan pembelajarannya
di pendididkan formal atau bahkan orang-orang yang sama sekali tidak
pernah belajar di bangku sekolah pada jenjang manapun. Istilah “kurang
ajar” yang saya maksud bukan bermakna orang-orang yang mengalami mentally disorder ataupun
bermasalah secara moral, melainkan orang-orang atau golongan masyarakat
yang secara intensitas mengalami pendidikan formal yang sangat kurang.
Maka, inilah saatnya pendidikan luar sekolah menjalankan fungsinya
sebagai penambah, pelengkap, dan pengganti pendidikan formal. Sebut saja
pendidikan anak jalanan yang diperuntukan bagi anak-anak jalanan yang
mengalami putus sekolah, pendidikan keaksaraan untuk masyarakat buta
aksara, pendidikan kesetaraan (paket A, B, C) sebagai pengganti
pendidikan SD, SMP, dan SMA, dan masih banyak lagi program pendidikan
lainnya.
Pendidikan luar sekolah sebagai suplemen, komplementer, dan substituter
Sebagaimana telah
dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa pendidikan luar sekolah berfungsi
sebagai penambah (suplemen), pelengkap (komplementer), dan penambah
(substituter) dari pendidikan sekolah atau pendidikan formal. Ketiga
fungsi ini menunjukan adanya sinergitas antara pendidikan formal dan
nonformal. Orang mungkin akan berupaya memperoleh suplemen
pendidikan—manakala ia membutuhkan keterampilan tambahan yang tidak bisa
ia peroleh dari pendidikan sekolah saja. Sama halnya dengan
komplementer pendidikan. Sedangkan substituter pendidikan diperoleh
ketika seseorang sudah tidak memmungkinkan lagi untuk melakukan
pembelajaran di sekolah karena berbagai alasan. Maka, pada akhirnya, ia
menempuh pendidikan lain sebagai pengganti.
Begitulah sedikit
gambaran umum mengenai prinsip pendidikan luar sekolah. Pada hakikatnya,
setiap pendidikan tujuannya adalah baik, apa pun jenis pendidikannya,
karena bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan formal dan
nonformal memang memiliki hubungan yang sinergis, tidak bisa dipisahkan,
bagaimanapun caranya. Sudah sepatutnya kita berterima kasih pada
pendidikan formal, karena berkat keketatannya—kita menjadi pembelajar
yang disiplin. Namun, jangan sampai keketatan dan kedisiplinan tersebut
mencitrakan pendidikan formal sebagai pencetak robot penghafal rumus dan
angka. Tetaplah berpedoman pada prinsip “memanusiakan manusia”. Lain
halnya dengan pendidikan nonformal, jangan sampai fleksibilitas
pembelajaran mencirikan pendidikan yang terlalu longgar dan tidak rapi.
Sebagai manusia yang berpendidikan, sudah saatnya kita berupaya
mengoptimalkan keduanya, suka tidak suka. Salam pendidikan. Pendidikan
untuk peradaban…
http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/10/pendidikan-luar-sekolah-membelajarkan-orang-orang-kurang-ajar-558587.html
Good job! Keep blogging to share the good thing :)
BalasHapus